Me & My Wifes

Me & My Wifes
In Church

Jessica & My Mom

Foto saya
Freddy Nababan No.19

Minggu, 09 Maret 2008

Siapa Bermain di Belakang Terbitnya PP No 2/2008?

Siapa Bermain di Belakang Terbitnya PP No 2/2008?
Kompas, Kamis, 6 Maret 2008 | 02:41 WIB

*Sri Hartati Samhadi*

Melalui ancaman untuk menyeret Pemerintah Republik Indonesia ke
arbitrase nasional, segelintir perusahaan pertambangan multinasional
empat tahun lalu berhasil menekan pemerintah untuk menerbitkan
Peraturan
Pengganti Undang-undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang membolehkan
mereka melakukan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung.

Kini, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 (PP No 2/2008),
terbuka kemungkinan bukan hanya 13 perusahaan yang boleh menambang
secara terbuka di hutan lindung, tetapi juga ratusan perusahaan tambang
lainnya, asalkan mereka membayar biaya izin pinjam pakai Rp 300 per
meter persegi per tahun. Siapa sebenarnya yang bermain di belakang
terbitnya PP No 2/2008 ini?

Kemunculan PP No 2/2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan
Pembangunan
di Luar Kegiatan Kehutanan ini menjadi kontroversial, bukan hanya
karena
jiwa PP ini dinilai bertolak belakang dengan komitmen Pemerintah RI di
Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali untuk melakukan
pengawasan kawasan hutan dalam rangka menurunkan emisi karbon global.

Tetapi juga karena tidak ada ketegasan yang menyebutkan bahwa ketentuan
PP itu hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang yang berdasarkan
Perpu No 1/2004 (yang kemudian disetujui jadi UU No 19/2004 tentang
Kehutanan) diperbolehkan melakukan kegiatan penambangan terbuka di
areal
hutan lindung seluas 925.000 hektar.

Kalangan praktisi hukum melihat, PP No 2/2008 tidak secara tegas
menyebutkan dalam konsiderannya bahwa PP No 2/2008 hanya ditujukan
untuk
13 perusahaan dimaksud.

Selain itu, penyusunannya juga tidak melalui dialog publik terlebih
dulu. Dari sini saja jelas bahwa secara prosedural penyusunan PP ini
bertentangan dengan ketentuan UU No 10/2004 tentang peraturan
perundang-undangan yang menuntut adanya kejelasan mengenai tujuan,
kejelasan mengenai rumusan, dan keterbukaan.

Beberapa pengamat lingkungan, termasuk Elfian Effendi, Direktur
Eksekutif Greenomics, menilai PP ini sebagai bentuk manipulasi hukum
dan
persekongkolan untuk mengelabui publik. Ketidaktegasan PP yang tidak
secara eksplisit menyebutkan PP hanya berlaku bagi 13 perusahaan
membuka
celah lebar terjadinya penyalahgunaan.

Sekarang saja sudah ada multi-interpretasi terhadap PP dimaksud. Salah
satu contoh gamblang adalah sikap Kepala Dinas Pertambangan Kalimantan
Tengah yang justru melihat PP ini sebagai peluang bagi sembilan
perusahaan tambang batu bara di wilayahnya untuk beroperasi di hutan
lindung.

Jangankan di level kepala dinas, menteri sendiri memiliki interpretasi
tersendiri mengenai PP tersebut. Pernyataan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro di depan ratusan pengusaha
pertambangan, 29 Februari 2008, bisa digarisbawahi.

Waktu itu Purnomo jelas-jelas mengungkapkan akan segera menerbitkan
sebuah keppres yang memungkinkan perusahaan-perusahaan pertambangan
lain
bergabung dengan 13 perusahaan yang sebelumnya sudah diizinkan
menambang
secara terbuka di hutan lindung.

Kalau sudah begini, siapa yang menjamin dalam pelaksanaan di lapangan
nantinya bahwa hanya 13 perusahaan itu yang boleh menambang di hutan
lindung?

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehutanan MS Kaban, menjanjikan
pihaknya akan tetap mengawasi pelaksanaan di lapangan. Tetapi, sekali
lagi, dengan kondisi hutan yang sudah hancur sekarang ini, siapa yang
masih bisa diyakinkan oleh jaminan Dephut?

Siapa yang akan bertanggung jawab jika ternyata hutan justru semakin
rusak dengan adanya PP No 2/2008? Apakah presiden/wakil presiden,
menhut, dan menteri ESDM siap diseret ke tribunal rakyat dan mahkamah
internasional untuk mempertanggungjawabkannya? Kalaupun iya, itu tidak
akan bisa mengembalikan kerusakan yang telanjur terjadi.

*Berlindung*

Ada tendensi, pemerintah sekarang ini mencari kambing hitam dari PP ke
pemerintahan sebelumnya, dengan menyebut PP No 2/2008 ini hanya tindak
lanjut dari Perpu No 1/2004 yang dikeluarkan oleh pemerintahan
sebelumnya.

”PP ini bersembunyi dan berlindung di balik Perpu No 1/2004 dengan
menyusupkan kepentingan-kepentingan lain. Di antaranya mengompromikan
tarif penggunaan kawasan hutan lindung dan menghapus kewajiban
penyediaan lahan pengganti sebanyak dua kali lipat dari luas areal
lahan
hutan lindung lewat kompensasi murah,” kata Elfian.

Pihak Dephut dan ESDM sendiri cenderung berkilah PP ini hanya mengatur
sewa-menyewa dan bukan perizinan usaha tambang. Argumen ini dinilai
semakin mengundang tanda tanya mengenai motif yang melatarbelakangi
terbitnya PP ini.

Para panelis antara lain mempertanyakan tarif sewa yang ditetapkan
begitu murah dan dasar perhitungan yang dipakai. Kalau tujuannya untuk
konservasi hutan, di sini terlihat tidak sejalannya antara maksud dan
tujuan.

Berdasarkan kalkulasi kasar Greenomics, kerugian akibat diterapkannya
PP
No 2/2008 mencapai Rp 70 triliun. Sementara, dari penerapan PP No
2/2008
potensi PNBP yang diterima hanya sekitar Rp 2,78 triliun, atau hanya
menutup 3,96 persen dari potensi kerugian. Dari jumlah itu, yang bisa
masuk ke APBN 2008 ini diperkirakan hanya Rp 1,5 triliun.

Ini jelas tidak sebanding dengan potensi kerugian akibat rusaknya hutan
jika PP No 2/2008 diterapkan. Jadi, siapa sebenarnya yang diuntungkan
oleh PP No 2 ini?

Yang jelas, bukan masyarakat sekitar pertambangan, mengingat karena
kehadiran kegiatan pertambangan selama ini justru melahirkan pusat
kantong-kantong kemiskinan dan kehancuran ekologis di sekitarnya.
Secara
logika, yang paling diuntungkan dengan kehadiran PP No 2/2008 adalah
ke-13 perusahaan yang disebut dalam Perpu No 1/2004.

Namun, di luar 13 perusahaan, sekarang ini menurut Greenomics, ada 158
perusahaan tambang lain yang juga sudah tak sabar menunggu berlakunya
PP
ini.

Jika sudah begini, kehadiran PP No 2/2008, yang mengizinkan pembukaan
hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambang, infrastruktur
telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif sewa Rp 120 untuk hutan
produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun itu bukan hanya akan
mengancam 925.000 hektar hutan lindung, tetapi juga 11,4 juta hektar
hutan lindung lainnya.

Kalangan aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jaringan
Advokasi
Tambang (Jatam), dan Greenomics melihat pemberlakuan PP ini bisa
mengancam jalannya perekonomian di 25 kabupaten/kota dan akan
menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap 7 juta penduduk yang
berada di kawasan tersebut.

Dampak sosial ekologis ini yang tidak diperhitungkan dalam harga sewa
yang ditetapkan dalam PP No 2/2008.

Sejumlah panelis melihat kasus PP No 2/2008 ini bukan semata persoalan
kepentingan kehutanan yang dikalahkan oleh kepentingan komersial lain,
tetapi Dephut sendiri dinilai sudah menjadi sumber masalah sejak
diterbitkannya UU Kehutanan tahun 1967, sebagaimana juga ESDM.

Dengan rezim kebijakan yang berlaku sekarang ini, menurut seorang
panelis, ”industri keruk” (pertambangan) yang ada sekarang ini saja
sudah menjadi jaminan kebangkrutan sosial ekologis untuk seluruh
kepulauan Indonesia.

Terbitnya PP No 2/2008 dinilai para analis juga aib besar bagi
Indonesia
yang belum genap tiga bulan lalu mengklaim sukses menggelar dan menjadi
tuan rumah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim. PP No 2/2008 ibarat
semacam sabotase terhadap apa yang sudah dicapai dalam pertemuan di
Bali
itu.

Hal ini jelas akan membuat Indonesia semakin menjadi sorotan utama
dunia
di tengah nama Indonesia yang sudah tercemar dengan masuk dalam
Guinness
World Records
sebagai perusak hutan nomor satu dunia.

Oleh karena itu, muncul desakan kuat agar PP tersebut dicabut tanpa
harus menunggu proses judicial review di Mahkamah Konstitusi, atau
sebelum Indonesia dipermalukan di dunia internasional.

Sejumlah analis juga menyarankan, jika mau disusun PP pengganti untuk
PP
No 2/2008, sebelum dilakukan penyusunan PP baru, sebaiknya lebih dulu
dilakukan kajian dampak (regulatory impact assessment) terhadap UU No
19/2004 tentang Kehutanan (sebagai revisi atas UU No 41/1999) untuk
menilai kembali apakah keppres ini lebih banyak manfaatnya dibandingkan
mudaratnya.

Akhirnya, kita hanya bisa menunggu apa reaksi pemerintah menghadapi
gerakan perlawanan masyarakat yang semakin kuat menentang PP No 2/2008.
Jika pemerintah tetap ngotot memberlakukan PP No 2/2008, pertanyaan
yang
bisa muncul adalah mewakili siapakah pemerintah ini sebenarnya?
Benarkah
semua ini ada kaitan dengan kepentingan pelumas mesin politik menjelang
Pemilu 2009 seperti disinyalir berbagai kalangan? [ ]

Tidak ada komentar: